Waspada Difteri: Berujung Kematian
Beberapa bulan terakhir ini, Indonesia sedang dihebohkan dengan kembali munculnya kasus difteri. Bahkan tidak tanggung-tanggung, pemerintah menyatakan serangan difteri kali ini masuk ke dalam kategori Kejadian Luar Biasa. Difteri sendiri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria, sehingga nama penyakitnya diberi nama yang sama dengan bakteri penyebabnya. Jika tidak mendapat penanganan yang tepat, maka difteri dapat mempengaruhi fungsi tubuh yang lain seperti otot, jantung, serta sistem saraf bahkan dapat menyebabkan kematian.
Bakteri Corynebacterium diphtheria yang merupakan bakteri gram positif anaerob, menyebar dengan sangat mudah dan cepat melalui hidung dan tenggorokan. Anak-anak di bawah usia 5 tahun dan orang dewasa berusia di atas 60 tahun berisiko lebih tinggi terkena infeksi. Sementara orang yang hidup dalam lingkungan tidak sehat, gizi buruk, serta anak-anak dan orang dewasa yang belum diimunisasi juga turut berisiko.
Difteri sangat jarang terjadi di negara-negara maju di mana petugas kesehatan telah mengimunisasi anak-anak vaksin difteri selama beberapa dekade. Namun, masih umum terjadi di negara berkembang dimana imunisasi tidak diberikan secara rutin. Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah memasukkan imunisasi difteri kedalam kategori wajib. Imunisasi difteri yang dikombinasikan dengan pertusis dan tetanus ini, disebut dengan imunisasi DPT. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan mendapat 3 kali imunisasi DPT.
Pengertian
Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheria. Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut yang pada umumnya menyerang tonsil, faring, laring, hidung, dan adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang menyerang vagina. Pada tahap yang lebih lanjut, infeksi bakteri ini dapat menyebar hingga paralisis otot, gangguan jantung, ginjal dan sistem saraf. Setelah 3-5 hari terinfeksi, barulah penderita difteri biasanya mulai menunjukkan gejalanya.
Cara Penularan
Sumber penularan penyakit ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai sumber penularan. Difteri dapat menular melalui udara, benda pribadi, serta peralatan alat makan dan alat rumah tangga yang terkontaminasi. Kita dapat tertular jika menghirup udara dari batuk atau bersin seseorang yang terinfeksi. Selain itu, menyentuh luka terbuka penderita difteri dapat berisiko tertular infeksi tersebut. Bahkan, tissue bekas atau handuk bekas penderita dapat turut menularkan bakteri tersebut.
Gejala Difteri
Muncul sekitar 3-5 hari setelah terinfeksi. Pada tahap awal, difteri bisa disalahartikan sebagai sakit tenggorokan yang parah. Demam ringan dan kelenjar leher bengkak, adalah gejala awal lainnya.
- Lapisan tebal dan berwarna putih/abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel hingga tenggorokan
- Sakit tenggorokan dan serak
- Kelenjar bengkak (pembesaran kelenjar getah bening) di leher
- Kesulitan bernapas atau bernapas dengan cepat
- Lendir pada hidung (ingus), terkadang bercampur darah
- Demam tinggi (>380 C) dan menggigil
- Kulit pucat
- Jantung berdebar
- Berkeringat
- Pada beberapa orang, infeksi bakteri penyebab difteri hanya menyebabkan penyakit ringan – atau tidak ada tanda dan gejala yang jelas sama sekali. Orang yang terinfeksi bisa saja tidak sadar telah menjadi pembawa difteri, karena dapat menyebarkan infeksi tanpa merasakan sakit.
Komplikasi Difteri
Penderita difteri harus segera mendapat penanganan yang serius. Hal ini guna mencegah komplikasi yang akan menyertai penyakit tersebut, serta mencegah penularan lebih besar terutama pada anak-anak. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, jika tidak mendapat penanganan yang tepat, maka difteri dapat mempengaruhi fungsi tubuh yang lain seperti otot, jantung, serta sistem saraf bahkan dapat menyebabkan kematian. Diperkirakan 1 dari 5 penderita difteri dari anak-anak dan lansia berusia diatas 50 tahun, meninggal dunia akibat komplikasi yang muncul.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:
- Masalah pernapasan.
Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu reaksi peradangan pada paru-paru, sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas. - Kerusakan jantung.
Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan peradangan otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung, dan kematian mendadak. - Kerusakan saraf.
Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Paralisis pada diafragma akan membuat pasien tidak bisa bernapas, sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi, umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan. - Difteri hipertoksik.
Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal. (Fina/Marini)